Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Stunting kondisi gagal tumbuh pada anak balita bayi di bawah 5tahun

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita (bayi di bawah 5tahun ) akibat dari kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya



Sesuai dengan Permendesa Nomor 19/2017 tentang prioritas penggunaan Dana Desa 2018, disebutkan bahwa dana desa dapat digunakan untuk kegiatan penanganan stunting sesuai musyawarah desa.


Pemanfaatan Dana Desa untuk penanganan stunting dapat dimulai dari pemetaan sasaran secara partisipatif terhadap warga desa yang terindikasi perlu mendapat perhatian dalam penanganan stunting oleh kader pemberdayaan di desa. Selanjutnya lewat Rembuk Stunting Desa, seluruh pemangku kepentingan di desa merumuskan langkah yang diperlukan dalam upaya penanganan stunting termasuk bekerja sama dengan dinas layanan terkait.

Dukungan Kementerian Desa PDT dan Transmigrasi dalam upaya penurunan stunting antara lain melalui pengaktifan kegiatan-kegiatan yang bisa dilakukan oleh unsur desa.

Beberapa kegiatan tersebut seperti pembangunan/rehabilitasi poskesdes,polindes dan Posyandu, penyediaan makanan sehat untuk peningkatan gizi balita dan anak, perawatan kesehatan untuk ibu hamil dan menyusui.

Kemudian ada kegiatan pembangunan sanitasi dan air bersih, lantas melalui pengadaan insentif untuk kader kesehatan masyarakat, pembangunan rumah singgah, pengelolaan Balai Pengobatan Desa, pengadaan kebutuhan medis (makanan, obat-obatan, vitamin, dan lain-lain), sosialisasi dan edukasi gerakan hidup bersih dan sehat, serta melalui pengadaan ambulans desa yang bisa berupa mobil atau kapal motor di desa yang memiliki kawasan perairan.


Stunting menjadi masalah dunia karena implikasinya menentukan masa depan bangsa. Indonesia sebagai negara berkembang masih memiliki tingat prevalensi stunting tinggi. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 angka prevalensi stunting tercatat 8,7 juta (30,7%) bayi berumur bawah lima tahun (balita) mengalami stunting. Angka ini masih jauh dari angka target yang ditetapkan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), seharusnya angka stunting tidak lebih dari 20%. Dijumpai kendala pelaksanaan pencapaian target penurunan stunting antara lain karena belum tersedianya strategi komprehensif untuk dijabarkan dalam pelaksanaan program intervensi mendukung pencegahan stunting, mulai perbaikan gizi dan kesehatan ibu dan anak balita pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (1.000 HPK). Penelitian dilakukan mulai Februari sampai dengan Juli 2020 dengan tujuan menganalisis perancangan strategi percepatan penurunan stunting perdesaan, lokasi penelitian di Desa Banyumundu, Kecamatan Kaduhejo, Kabupaten Pandeglang. Lokasi penelitian tersebut merupakan tempat uji coba aksi cegah stunting yang dilaksanakan pada Agustus 2018 sampai dengan Februati 2019 yang menghasilkan contoh baik (best practices) percepatan penurunan stunting perdesaan. Metoda penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan teknik Analytical Hierarchy Process (AHP) dan SWOT dalam penentuan alternatif program intervensi dan strategi yang efektif untuk percepatan penurunan stunting. Hasil penelitian menunjukkan program intervensi dengan sasaran utama peningkatan pola asuh anak balita / bawah dua tahun (baduta) melalui program intervensi peningkatan status gizi sebagai upaya pencegahan stunting periode 1.000 HPK perlu diprioritaskan untuk percepatan (akselerator) penurunan stunting perdesaan. Hasil evaluasi faktor strategik internal dan eksternal analisis SWOT menunjukkan bahwa strategi yang paling efektif untuk percepatan penurunan stunting adalah kombinasi strategi agresif. Dalam jangka pendek perlu dioptimalksan intervensi gizi spesifik dan sensitif, sedangkan strategi jangka panjang perlu diintensifkan peluang dukungan kolaborasi antar sektor dan multistakehoders guna menjamin keberlanjutan dan pencapaian sasaran akselerasi penurunan stunting. Selain itu perlu penerapan strategi Public Private Partnership dalam upaya penegakan tatakelola (governance) diperlukan komitmen penjabaran operasional agar menjamin program pencegahan stunting balita perdesaan pada 1.000 HPK.

Dengan majunya pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 20 tahun terakhir, masih banyak ditemukan anak kekurangan gizi di berbagai daerah. Fakta tersebut menunjukkan bahwa pesatnya pertumbuhan ekonomi dan perbaikan pembangunan sektor fisik belum berjalan searah dengan perbaikan gizi masyarakat. Oleh sebab itu tak mengherankan jika kini salah satu prioritas pembangunan kesehatan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 adalah perbaikan gizi, termasuk stunting.

Sedikitnya 30% anak balita di Indonesia terancam kondisi stunting yang dapat menghambat pertumbuhan fisik maupun perkembangan kemampuan kognitif dan intelektual anak. Kondisi stunting disebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan asupan nutrisi selama 9 bulan saat anak di dalam kandungan ibu atau selama masa pertumbuhan kritis, yaitu 1.000 hari per tama dalam hidup anak. Gawatnya, kekurangan gizi pada masa kanak-kanak berkonsekuensi bukan saja di usia kecil anak, tetapi juga berdampak dalam sepanjang hidupnya.

Hasil penelitian McDonaldCM, dkk (2013) terhadap negara-negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin menunjukkan bahwa tingkat kematian anak yang mengalami stunting dan kekurangan berat badan tiga kali lebih besar ketimbang anak dengan gizi memadai. Pemerintah perlu memberikan perhatian serius terhadap penurunan angka stunting mengingat angka prevalensi stunting Indonesia masih tergolong tinggi. Berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) 2017, angka pre valensi stunting di Indonesia mencapai 29,6%.


Menurut WHO, masalah kesehatan masyarakat dapat dianggap kronis bila prevalensi stunting lebih dari 20%. Artinya secara nasional masalah stunting di Indonesia tergolong kronis. Stunting merupakan masalah gizi yang paling banyak ditemukan pada anak Indonesia. Indonesia menduduki pringkat kelima dunia untuk jumlah anak dengan kondisi stunting. Lebih dari sepertiga anak berusia di bawah lima tahun tingginya di bawah rata-rata. Meskipun sekarang proporsi stunting atau balita pendek karena kurang gizi kronis turun dari 37,2% (Riskesdas 2013) menjadi 30,8% (Riskesdas 2018), angka prevalensi stunting masih tergolong tinggi.

Melihat gentingnya permasalahan stunting, kini pemerintah telah menjadikan penanggulangan stunting sebagai prioritas nasional. Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin telah menetapkan bahwa mengurangi tingginya angka stunting menjadi prioritas utama Presiden sebagai bagian dari pembangunan sumber daya manusia (SDM) unggul. Pilihan ini antara lain diwujudkan dengan menyiapkan anggaran kesehatan 2020 cukup besar: Rp132,2 triliun, hampir dua kali lipat dari 2015. Anggaran ini salah satunya untuk memastikan angka kasus ke kerdilan (stunting) bisa ditekan sesuai target di mana angka stunting menurun 10% dalam lima tahun mendatang.

Stunting dan Kualitas SDM Indonesia

Stunting merupakan persoalan pelik yang bersifat multidimensional. Grantham Mc Gregor dan Baker Henningham (2005) menunjukkan bahwa di banyak negara, stunting juga berkaitan dengan rendahnya kemampuan kognitif anak dan performa mereka di sekolah. Stunting memengaruhi kapasitas belajar pada usia sekolah, nilai dan prestasi sekolah, upah kerja pada saat dewasa, risiko penyakit kronis seperti diabetes, morbiditas dan mortalitas, dan bahkan produktivitas ekonomi. Data IFLS dari 13 provinsi di Indonesia (2018) menunjukkan bahwa hampir setengah (48,6%) dari anak umur 7-8 tahun punya kemampuan kognitif kurang. Bayi umur 0-6 bulan yang pendek dan tetap pendek sampai umur 7-8 tahun berisiko 2,8 kali memiliki kemampuan kognitif kurang dari pada anak yang tidak stunting.

Assessment yang dilakukan pada 2015 oleh OECD PISA (The Organization for Economic Cooperation and Development Programme for International Student Assessment), suatu organisasi global bergengsi, mengungkap bahwa Indonesia berada di urutan ke-62 dari 70 negara dengan skor 403. Adapun posisi Singapura, Vietnam, dan Thailand berturut-turut: 1,8, dan 54, dengan skor rata-rata berturut-turut, 556, 525, dan 421.


Pada pertumbuhan penduduk, stunting bisa menurunkan produktivitas SDM. Ini tecermin dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia di ASEAN masih lebih rendah dari pada Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan setara dengan Vietnam (UNDP, 2018).

Berdasarkan data Human Development Report UNDP 2016, Indonesia memiliki angka IPM yang masih tertinggal jauh bila dibandingkan dengan 4 negara ASEAN lainnya, yakni (5) Singapura (IPM: 0.925); (30) Brunei (IPM: 0.865); (59) Malaysia (IPM: 0.789); (87) Thailand (IPM: 0.740); (113) Indonesia (IPM: 0.689). Ini menunjukkan lambatnya laju peningkatan kualitas pembangunan SDM kita sejak zaman kemerdekaan bila dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia, bahkan dengan negara/negara ASEAN.

Keseriusan pemerintah dalam menangani permasalahan stunting juga kian dituntut sigap mengingat dampak stunting terhadap perekonomian tidak kecil. Berdasarkan data yang diolah dari laporan World Bank Investing in Early Years Brief, 2016, stunting dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi dan produktivitas pasar kerja terhambat serta memperburuk kesenjangan/inequality. Catatan Bank Dunia (2016) menyatakan bahwa dalam jangka panjang stunting dapat menimbulkan kerugian ekonomi sebesar 2-3% dari produk domestik bruto (PDB) per tahun. Jika PDB Indonesia sebesar Rp13.000 triliun, diperkirakan potensi kerugian akibat stunting dapat mencapai Rp260 triliun-390 triliun per tahun.


Ketika dewasa, anak yang mengalami kondisi stunting pun berpeluang mendapatkan penghasilan 20% lebih rendah bila dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami stunting.

Upaya Penurunan Prevalensi Stunting

Berbicara tentang stunting tak lepas dari berbagai perdebatan terkait faktor dominan penyebab stunting. Beberapa pihak menyatakan disebabkan oleh permasalahan ekonomi, selain itu tak sedikit pula yang menyatakan karena permasalahan pendidikan dan kualitas layanan publik. Hingga kini penyebab utama stunting masih menjadi debat publik yang belum usai.

Menurut Tuft (2001) dalam The World Bank (2007), stunting disebabkan tiga faktor, yaitu fak tor individu yang meliputi asupan makanan, berat badan lahir, dan keadaan kesehatan; faktor rumah tangga yang meliputi kualitas dan kuantitas makanan, sumber daya, jumlah dan struktur keluarga, pola asuh, perawatan kesehatan, dan pelayanan; serta faktor lingkungan yang meliputi infrastruktur sosial ekonomi, layanan pendidikan dan layanan kesehatan. Adapun menurut Soetjiningsih (1995), tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan.

Selanjutnya dilihat dari sisi alokasi belanja kesehatan, pemerintah mengalokasikan dana sebesar Rp123,1 triliun untuk anggaran sektor kesehatan dalam APBN 2019. Alokasi itu naik Rp1,2 triliun bila dibandingkan dengan RAPBN 2019 atau sebesar 5% dari Belanja APBN.


Anggaran untuk sektor kesehatan ini naik 14,6% bila dibandingkan dengan APBN 2018. Adapun alokasi dari Rp123,1 triliun itu, untuk pemerintah pusat sebesar Rp89,8 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp33,4 triliun. Adapun untuk sasaran target, 24,8% dialokasikan untuk prevalensi stunting. Meskipun setiap tahunnya alokasi belanja kesehatan mengalami peningkatan, hal itu belum diikuti dengan optimalisasi peningkatan kesehatan pada masyarakat, khususnya terkait dengan penurunan angka prevalensi stunting.

Melalui anggaran pemerintah yang cukup besar dan mengingat penurunan angka prevalensi stunting kini menjadi prioritas pembangunan, diharapkan program penurunan angka prevalensi stunting dapat terlaksana tepat sasaran. Berbagai program penurunan angka prevalensi stunting yang telah direncanakan oleh pemerintah pusat harus terintegrasi hingga ke desa mulai dari pembangunan posyandu, penyediaan makanan sehat, pembangunan sanitasi dan air bersih hingga balai pengobatan desa dan lainnya. Selain menggunakan alokasi belanja dana kesehatan, semua itu juga bisa memanfaatkan dana desa.

Terlepas dari alokasi dana desa dan K/L yang disalurkan untuk penanganan stunting, pemerintah sejatinya perlu mengawasi dan memastikan program tersebut sudah tepat sasaran. Sebab persoalan stunting tidak bisa diukur dari satu faktor saja untuk dapat mewujudkan generasi premium Indonesia di masa depan. Semoga.